1. Ketakutan dan kecemasan: Di saat ketidakpastian atau bahaya, orang mungkin beralih ke takhayul untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan mereka. Misalnya, orang mungkin membawa jimat keberuntungan atau menghindari tempat atau aktivitas tertentu dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan membawa kesialan.
2. Salah tafsir terhadap peristiwa alam: Di masa lalu, masyarakat mungkin belum memiliki pemahaman ilmiah tentang peristiwa alam, seperti badai, gempa bumi, atau gerhana. Akibatnya, mereka mungkin menghubungkan peristiwa-peristiwa ini dengan kekuatan atau makhluk gaib dan mengembangkan takhayul untuk melindungi diri mereka dari bahaya.
3. Bias konfirmasi: Orang cenderung mengingat peristiwa yang mendukung keyakinan mereka dan melupakan atau mengabaikan bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Hal ini dapat menyebabkan takhayul terus berlanjut, karena orang secara selektif mengingat saat-saat ketika takhayul mereka tampak benar dan melupakan saat-saat yang sebenarnya tidak benar.
4. Pembelajaran sosial: Takhayul juga bisa dipelajari dari orang lain, seperti orang tua, teman, atau pemimpin budaya. Anak-anak mungkin diajari untuk memercayai takhayul tertentu oleh orang tuanya, dan kepercayaan ini mungkin terus diwariskan dari generasi ke generasi.
5. Keyakinan dan tradisi budaya: Takhayul dapat tertanam kuat dalam kepercayaan budaya dan tradisi. Simbol, ritual, atau praktik tertentu dapat dianggap membawa keberuntungan atau kesialan berdasarkan faktor sejarah, agama, atau sosial.
6. Informasi yang salah: Takhayul dapat menyebar melalui informasi yang salah atau kesalahpahaman. Orang mungkin menyampaikan informasi yang salah tentang keyakinan atau praktik tertentu, sehingga mengarah pada pelestarian takhayul.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun takhayul mungkin memberi orang rasa nyaman atau kendali dalam menghadapi ketidakpastian, takhayul tidak memiliki bukti ilmiah dan tidak memberikan pemahaman yang dapat diandalkan atau akurat tentang dunia di sekitar kita.