Konteks Sejarah:
1. Keyakinan Agama :Pada abad pertengahan, institusi keagamaan, khususnya Gereja Katolik, memainkan peran penting dalam membentuk kepercayaan masyarakat tentang ilmu sihir. Doktrin agama menganggap ilmu sihir sebagai tindakan bid'ah dan bertentangan langsung dengan ajaran Kristen, sehingga menimbulkan ketakutan dan takhayul di kalangan umat.
2. Perburuan Penyihir :Antara tahun 1400 dan 1800, Eropa menyaksikan periode yang dikenal sebagai "Perburuan Penyihir". Pada era ini, banyak orang yang dituduh melakukan praktik ilmu sihir hanya berdasarkan kecurigaan atau keluhan pribadi. Ketakutan akan ilmu sihir menyebar ketika orang-orang dieksekusi atau dianiaya tanpa bukti yang kuat.
3. Sastra dan Mitos Populer: Buku-buku seperti "Malleus Maleficarum" (Palu Penyihir) pada abad ke-15 menyebarkan kisah-kisah seram tentang dugaan kekuatan penyihir, sehingga memperkuat stereotip negatif dan ketakutan di kalangan masyarakat. Cerita rakyat dan takhayul juga mengabadikan gagasan tentang penyihir sebagai makhluk jahat dan jahat.
4. Dinamika Sosial dan Politik: Di masa-masa kerusuhan sosial dan politik, menyalahkan orang yang diduga penyihir merupakan jalan keluar bagi masyarakat untuk mengatasi ketakutan dan ketidakpastian. Hal ini mengalihkan perhatian dari elit penguasa dan menawarkan rasa kendali di saat terjadi kekacauan.
5. Misogini dan Diskriminasi Gender: Banyak orang yang dituduh adalah perempuan yang menentang norma-norma masyarakat atau mengancam otoritas laki-laki. Tuduhan santet seringkali digunakan untuk membungkam dan menindas perempuan yang menyimpang dari peran gender tradisional.
Persepsi Modern:
Saat ini, ketakutan terhadap penyihir telah hilang di sebagian besar masyarakat, dan banyak yang memandang penyihir sebagai makhluk mitos atau simbol positif dari pemberdayaan dan ketidaksesuaian. Seiring dengan kemajuan masyarakat, skeptisisme dan pemikiran kritis telah menantang keyakinan irasional yang memicu penganiayaan terhadap orang-orang yang disebut sebagai penyihir di masa lalu.